saya pernah membaca sebuah short story bilingual di sebuah majalah. berjudul time travellers, ceritanya tentang sebuah editor yang meminta ia menulis sebuah cerita tentang ia ingin kemana mengunjungi apa dalam lima tempat. sebuah perjalanan yang hanya dirangkai dalam kata-kata. ia pun bertanya kepada editor "apa untungnya perjalanan hanya dalam kata-kata?", editor dengan santai menjawab "lah kan enak jalan-jalannya jadi murah, ga perlu mengeluarkan biaya kan? kamu juga ga perlu takut terjangkiti virus H1N1 yang sedang mewabah sekarang."
saya jadi terfikir, akan kemana saya pergi?
saya jadi ikut-ikutan merangkai kata tentang perjalanan dalam benak saya. saya ingin mengunjungi pantai di Bali, melihat matahari terbenam di Pulau dewata. mengunjungi pasar-pasar kesenian di bali. menikmati matahari di Gili trawangan, Lombok. berjalan kaki sore hari di Braga, Bandung.
saya tidak ingin pergi jauh-jauh dulu. buat apa saya keliling dunia kalau saya belum menginjakkan kaki di tanah para dewa?
well, tapi tetap saja saya ingin mengunjungi secara langsung, tidak hanya dalam batasan kata-kata.
ah yang terus menghantui saya malah jalan-jalan bukannya ujian saya yang mencekam di depan mata.